Caleg Partai Gerindra, H Marwan Yohanis: Tidak Mempersoalkan Pileg 2024 kembali ke Sistem Proporsional Tertutup



Riautodays.comPEKANBARU – Banyak calon legislatif (caleg) yang kini mulai bimbang untuk melangkah, menyusul semakin menguatnya kemungkinan Pemilu Legislatif 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup, bukan Pemilu Terbuka yang sudah berlangsung sejak awal Reformasi. Mereka khawatir sistem tertutup akan menjegal peluang duduk sebagai anggota parlemen.

Tetapi tidak demikian dengan H Marwan Yohanis, caleg Partai Gerindra yang juga anggota DPRD Provinsi Riau. Secara pribadi, kata Marwan, ia tidak mempersoalkan kalaupun pada akhirnya Pileg 2024 dengan sistem tertutup, mencoblos tanda gambar parpol dan siapa yang akan duduk di kursi parlemen ditentukan pimpinan parpol. Bukan oleh pemilih secara langsung dengan mencoblos gambar para caleg di kertas suara seperti berlaku selama ini.

“Apapun keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pemilu Legislatif 2024: Terbuka atau Tertutup, bagi saya pribadi tidak ada masalah,” kata Marwan Yohanis, Senin (29/5/2023) menanggapi media ini sehubungan viralnya pernyataan pakar hukum Denny Indrayana yang mengaku mendapatkan informasi bahwa MK akan mengembalikan sistem Pemilu ke proporsional tertutup dalam keputusannya beberapa waktu ke depan.

Kicauan Denny Indrayana itu kemudian mendapat respon pro-kontra dari berbagai kalangan. Pihak pemerintah sendiri melalui Menko Polhukam Mahfud MD merespon informasi dari Denny Indrayana sebagai preseden buruk dan bisa dikategorikan pembocoran rahasia negara. “Polisi harus selidiki info A1 yang katanya menjadi sumber Denny agar tak jadi spekulasi yang mengandung fitnah,” lontar Mahfud, Minggu (28/5/2023).

Tugas Kader Kumpulkan Suara

Lebih jauh Marwan Yohanis mengungkapkan, sistem Pemilu Tertutup maupun Terbuka ada plus minusnya. Pemilu Tertutup seperti yang berlangsung pada masa Orde Baru menghasilkan anggota parlemen yang loyal, paham dan mengerti dengan organisasi serta visi misi partainya. Kualitas legislator juga dapat diandalkan di parlemen karena rata-rata sudah terasah melalui berbagai pelatihan sebelum mengikuti proses pencalegan.

Bila sejumlah kalangan menyebutkan, Pemilu Tertutup mengakibatkan masyarakat seperti “membeli kucing dalam karung” karena anggota dewan yang akan duduk ditentukan oleh pimpinan parpol, atau nomor urut, menurut Marwan, itu pendapat yang keliru.

“Saya pikir justru makin menguatkan posisi partai politik. Karena kader-kader yang ditempatkan itu benar-benar seorang loyalis, teruji dan telah melalui proses pengkaderan di organisasi partai. Karena mereka bukan kader dadakan atau legislator yang baru masuk dunia politik,” ujar Marwan.

Sebagai seorang politisi senior di Riau, menurut Marwan pada hakikatnya tugas seorang kader adalah mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya untuk kemenangan partainya dalam pesta demokrasi atau Pemilu.
Karena peserta pemilu itu adalah PARTAI bukan Orang.

“Seorang kader partai semestinya tidak mempersoalkan apakah akan duduk atau tidak nantinya. Termasuk soal nomor urut berapa ditempatkan partai dalam pencalegan,” ujar Ketua DPD Partai Gerindra Riau periode 2010-2016 tersebut.

Sebaliknya, sistem proporsional terbuka atau pemilihan langsung akan menunjukkan sejauh mana hubungan personal calon wakil rakyat dengan pemilih. Kemampuan seorang caleg dalam meyakinkan pemilih sangat menentukan peluangnya terpilih sebagai anggota parlemen.

“Karena itu dalam sistem proporsional terbuka loyalitas seorang kader terhadap partai tidak seperti hubungan dia dengan konstituennya. Karena yang sangat menentukan keterpilihannya sebagai legislatif bukan partai melainkan pemilihnya. Caleg di sistem proporsional terbuka lebih kuat ke basis pemilih ketimbang ke partainya. Jadi itu beda dan plus minus antara posisi seorang Caleg dalam Pemilu Tertutup dan Terbuka,” urai Marwan yang tengah bersiap-siap mengadu peruntungannya untuk periode ketiga sebagai anggota DPRD Riau dari Dapil Kuansing-Inhu.

Marwan sendiri tidak sependapat dengan sejumlah kalangan yang menyebutkan bila Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup sebagai sebuah kemunduran demokrasi. “Ya saya dengar juga soal pendapat demikian. Namun saya kira itu bukan kemunduran. Tetapi sebuah proses mencari format Pemilu yang cocok bagi bangsa ini,” ungkap mantan Ketua DPRD Kabupaten Kuantan Singingi tersebut.

Pemilihan langsung ini, ungkap Marwan, cocok untuk negara yg tidak terlalu luas, penduduk tidak terlalu banyak, tingkat pendidikan minimal sudah setingkat SLTA. Amerika Serikat saja, masih memakai pemilihan tingkat distrik.

Dijelaskan Marwan, tidaklah tepat bila seluruh produk Orde Baru ataupun Orde Lama dinilai buruk. Dan sebaliknya, produk Era Reformasi sekarang ini juga jangan dinilai sudah baik. Justru Marwan melihat berbagai kemunduran terjadi pasca-reformasi.

“Kalau dulu korupsi dilakukan orang sembunyi-sembunyi, justru sekarang terang-terangan. Analoginya, dulu korupsi di bawah meja, sekarang dengan meja-mejanya di korupsi,” kata Marwan sambil tergelak.

Disintegrasi Bangsa

Ia juga mengingatkan tentang tiga gejala awal terjadinya disintegrasi bangsa yang patut jadi perhatian segenap penyelenggara negara dan komponen bangsa saat ini, yakni disorientasi, diskomunikasi, dan disorganisasi.

Pertama disorientasi. Dimana orientasi sudah tidak sejalan antara penyelenggara negara. “Antara eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak lagi sama orientasinya. Terlihat tidak adanya kesamaan persepsi antara elit politik yang menyebabkan sistem penyelenggaraan negara, dalam upaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara, jadi sangat terganggu dan buruk,” katanya.

Masing-masing lembaga lebih mengedepankan egonya. Kadang sesama eksekutif dan beda kementerian saja sudah tak saling memperkuat.

“Ini juga sangat kita rasakan saat ini, kesenjangan kehidupan sosial, dan rendahnya sistem nilai, sama kita ketahui saat ini, republik heboh, digoncang oleh perilaku beberapa orang di lembaga Yudikatif, legislatif dan terakhir di Eksekutif,” tutur Marwan.

Sedangkan diskomunikasi, itu salah satunya seperti kurangnya menghargai dan menghormati pendapat orang lain. “Hal itu sangat kita rasakan saat ini. Komunikasi antar lembaga saja tak hormonis. Kalau diibaratkan sebuah rumah tangga, komunikasi Bapak dan Ibu, sudah tak bagus, terganggu dan tak saling menghargai, dalam menjalankan rumah tangga. Biisa dipastikan rumah tangga tersebut berujung akan bubar,” jelas Marwan dengan nada prihatin.

Magister Ilmu Komunikasi ini menyebut gejala ketiga, yakni disorganisasi, adalah merosotnya nilai dan norma di dalam masyarakat karena perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga sosial kemasyarakatan.

“Faksionalisasi atau perpecahan dalam tubuh organisasi, kalah dalam pemilihan ketua organisasi, buat organisasi baru, partai politik merupakan salah satu bentuk disorganisasi,” ujar Marwan.

Rentetan gejala tersebut, mulai dari disorientasi, diskomunikasi hingga disorganisasi itu pada akhirnya dapat memicu terjadinya disintegrasi atau perpecahan. “Suatu hal yang sangat mengerikan bagi kelangsungan bangsa ini bila tidak ada kesadaran kolektif para elit dan anak-anak bangsa untuk mencegah hal demikian jangan sampai terjadi. Ini yang sebenarnya sangat penting jadi perhatian saat ini,” tutup Marwan. (*/RKR)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Kodim 0314/Inhil

Dinas Kesehatan Kabupaten Indragiri Hilir

Juli

September

Formulir Kontak