Bismillahirrahmanirrahim
Betul Abangku Prof. Teuku Abdul Sani, Dosen ITB, Waketum MPP ICMI, bahwa di pulau Penyengat, lokasi di seberang Kota Tanjung Pinang, ibu kota Prov. Kepulauan Riau, terdapat istana Raja Melayu, dan makam para Raja, dan ternasuk makam sastrawan Melayu "Gurindam 12" yang terkenal Raja Ali Haji. Beliau, Allah yarham adalah tercatat sebagai Pahlawan Nasional, dengan karya sastranya merupakan mega-kontributor Bahasa Indonesia.
Disana ada Masjid Penyengat, cukup megah, menurut legendanya terbuat dari salah satu materialnya "kuning telur'. Masjid Kuning telur ini, arsitekturnya begitu indah dan merefleksikan kemajuan peradaban Melayu, dimasa itu.
Saya bersama istriku berdarma wisata ke Pulau Penyengat, terakhir kali akhir Desember 2022, karena kakakku, mantan Ketua Hakim dan Ketua PN Tg Pinang, pensiun pengacara (lawyer) bermukim di Kota Tanjung Pinang.
Saya ada pengetahuan sedikit tentang kawasan Batam, Rempang dan Galang, disingkat Barelang Kepulauan Riau. Saya banyak berkeliling juga di daerah ini, dari dulu hingga sekarang. Sebab skripsi S1 sarjana pada prodi Sosek Faperikan IPB thn 1984, tesis S2 msgister sains thn 1998 dan disertasi S3 Doktor thn 2006, saya semua lokasinya berada di kawasan Barelang.
Juga beberapa judul projek studi dan riset untuk menyusun dokumen perencanaan pengembangan potensi Sumberdaya Alam, pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di daerah Provinsi Kep Riau, beberapa pesanan Kementerian Perikanan dan Kelautan RI di Jakarta dan Pemprov Kep Riau.
Alhamdulillah pernah saya kerjakan dengan baik dan profesional, baik saya AA sebagai anggota maupun Team leader project.
Jadi evolusi dan suksesi ekologi potensi SDA kawasan Kepulauan Riau, terutama kawasan Batam sekitarnya, dan kondisi ekososial, sosio-anttopologi masyarakat-etnis Melayu Islam yang hidup bermukim sebagai local community, juga saya tahu dan mendalaminya.
Mereka hidupnya termarginalkan, tragis dan tergusur oleh kekuatan daksatnya investasi dan bisnis para oligarki, negara tetangga Singapura. Saya amati hampir semua sektor, terutama problem agraria, perebutan sumberdaya alam (SDA) dll. Magnitude power ekonomi.negara kecil Singapura begitu kuat.
Permasalahan struktural dan kulturalnya begitu komplek dan sistemik. Jika kita ingin berbicara mengenai kondisi eksisting perkembangan pembangunan daerah di kawasan perbatasan (hinter land) negara ini Barelang, ditinjau dari berbagai perspektif sains, sungguh menarik, sangat tampak adanya kegagalan pemerintahan (governament failure), dalam membangun di kawasan ini.
Saya agak "gatal" juga mau menulis, bernarasi tentang problem sosial ekonomi dan budaya serta politik masyarakat pribumi, etnis Melayu mukim di kawasan Barelang ini, yang kini kian terpinggirkan dan mereka maaf, tertindas menjadi kaum mustaafin di daerahnya sendiri. Hal ini berlangsung akibat dan dampak derasnya gerakan investasi dan bisnis, arus kapital yang masuk dengan epicentrumnya di Kota Batam, dan menjalar ke daerah pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Saya sudah lama mencermati, dan meneliti bahkan pernah bersuara di mass media lokal Batam, bahwa pembangunan di kawasan Barelang tidak menjalankan, atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah (code of conduct) Pembangunan Berkelanjutan .(Sustainable Development/SD), dan kini lebih populer disebut Sustainable Development Goals (SDGs).
Komitmen para pemimpin dunia di forum-forum World Summit 1976, 1996 dan 2002, yang telah menegaskan untuk melaksanakan dan mewujudkan pembangunan SDGs tsb, dengan 18 Tujuan, dua ratusan lebih indikator dan parameter keberhasilan SD, dimana pembangunannya bercirikan harmoni dalam 3 dimensi, ekonomi-ekologi dan ekososial.
Akan tetapi sayang, dalam prakteknya, komitmen Governament of Indonesia (GoI) sampai saat ini sangat rendah dan bahkan lemah sekali. Mereka abai dengan aspek pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam ,(ecologi, conservation) dan abai juga pada aspek keadilan sosial (ekosocial), dimana rakyat lokal tergusur dengan adanya investasi, dan mengatas nama mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi (higt economic growth),
Mereka mudah berkata, dan berpidato, beretorika yang indah-indah, enak didengar, akan tetapi dalam rialita dan kenyataan serta faktanya di lapangan, kondisi eksistingnya bertolak belakang (paradoks) dan membuat warga tempatan (local community) tergusur dan teraleniasi (anomali).
Jika dianalisis secara public policy of science, inilah salah satu dampak negatif atau buah dari buah kepemimpinan yang lemah dan berwatak munafik. Jargonnya pro wong cilik-pribumi, prakteknya pro-oligarki-wong asing based aseng.
Salah satu faktanya dilihat kasat mata, adalah kasus Rempang, yang lagi hangat saat ini, terjadi konflik sosial vertikal.
Untuk kawasan Barelang, pergeseran kepemilikan lahannya bergeser dari "communal property rigts" (penduduk lokal etnis, Melayu pribumi) berpindah kepemilikan lahan-agrarianya kepada land "biggest coorporate/private property rigts", sudah lama terjadi, sejak era Orde lama, meningkat di zaman Orde baru dan hingga era Reformasi agak mereda, rakyat lokal agak bernapas, kemudian kini post Reformasi eskalasinya semakin meninggi lagi, sehingga dimana-mana terjadi benturan kepentingan rakyat versus investor yang difasilitasi regim berkuasa.
Penduduk pribumi, asli atnis Melayu Islam, semakin tergusur dan menjadi sasaran penindasan (mustaafin) yang tak terelakan.
Hal ini terjadi, akibat kuatnya arus investasi dan bisnis, usaha industri serta perdagangan dikendalikan para mapia oligarki di lapangan, dan mereka berhasil dekat dengan elite politik lokal dan nasional, sehingga mereka menguasai public policy negara, melalui kekuasaan Pemerintah Pusat dan juga para pemimpin di birokrasi Pemda seperti Pemko Batam yang tidak lagi pro membela rakyatnya dilihat dari gusturenya bapak Wali kota Batam selaku Ketua Otorita/BPP Batam (simak berita HU Kompas, beberapa waktu lalu).
Mereka para elite politik lokal, sudah berpindah haluannya mendukung gerak langkah para investor, pebisnis besar (oligarky) dengan mengatas namakan pembangunan, mengejar omset investasi sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya.
Menurut pendapat saya pertumbuhan itu semu, karena pertumbuhan ekonomi tidak disertai pemerataan sosial (social equity) dan distribusi hasilnya untuk kemamuran rakyat sebesar-besarnya sebagaimana amanat konstitusi pasal 33 UUD 1945. Buktinya ditinjau aspek ketenagakerjaan dan pengupahan pada level UMR, fasos dan fasum yang minim etc.
Kondisi eksisting Indonesia satu dasa terakhir, semua ilmuwan dan para pakar sangat paham berdasarkan data resmi BPS RI bahwa angka indeks gini.ratio masih sangat tinggi berkisar 0.38 sd 0.42, lampu merah, ketimpangan sosial ekonomi dari aspek kepemilikan sangatlah timpang. Mereka kaum kaya oligarky (borjuis) hanya segelintir orang yang netabene etnis Asing based Aseng (China Tiongkok) menguasai asset negara-bangsa berupa tanah (agraria), air dan udara yang melimpah.
Sementara rakyat pribumi tergusur dan termarginalkan, yang berlindung atas nama realokasi penduduk asli (endeginous peoples). Fenomena sosial yang dinarasikan ini, sekarang terjadi, dan tengah berjalan konflik sosial di pulau Rempang, posisnya bagian tengah antara pulau Batam dan pulau Galang di kawasan Barelang, Kepulauan Riau.
Drama yang memilukan hati kita, dan mengganggu pikiran waras kita, kita tonton di medsos Youtube. Bahwa telah terjadi tindakan penzholiman tengah berlangsung terhadap Rakyat, penduduk setempat oleh aparat Kepolisian RI dan pihak keamanan lainnya.
Kita sungguh prihatin dan pilu hati ini, dimana aparat keamanan RI yang digaji dan difasilitasi segala peralatan senjata dari pajak Rakyat, sekarang berbuat naif, mencelakan dan menciderai Rakyat (penduduk asli lokal-tradisional) yang tengah berjuang membela hak-hak kepemilikan agraria dan habitat mereka hidup sejak lama, kini akan digusur, beralih fungsi dan kepemilikan lahannya ke koorporasi untuk pengembangan kawasan industri dan perdagangan, serta wisata moderen, yang telah dibuat dokumen perencanaannya (site plan, master plan dan DEDnya) secara diam-diam tanpa sepengetahuan Rakyat tempata.
Keterlibatan masyarakat asli lokal (endigenous peoples) dinihilkan atau diabaikan. Artinya pendekatan planningnya bersifat topdown, yang anti demokrasi, tidak buttom-up planning, dan dengan tata kelola pemerintahan yang amat buruk (very bad governance) yakni rencana pembangunan seperti kawasan industri Rempang Kep. Riau, tidak melaksanakan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum tata pemerintahan yang partisipatif, transfaran dan akuntabel.
Karena prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah tersebut oleh para penguasa (the ruling party) yang berselingkuh (kolusi) dengan para oligarki, makanya konflik sosial vertikal antara Rakyat lokal versus aparat keamanan yang mempresentasikan kekuasaan Pemerintahan Pusat dan Daerah, tak terelakan dan terjadi benturan fisik yang berlumuran "darah", pingsan yang berpotensi menghilangkan nyawa penduduk lokal, demonstran yang tak berdaya (powerless) menghadapi serbuan aparat yang bersenjata lengkap.
Jika menonton video di Yoetube, ada gambar visual dan narasi konflik sosial berdarah di pulau Rempang di kawasan Barelang, dilihat dari perspektif falsafah dan ideologi Pancasila, serta konstitusi negara/NKRI pasal-pasal dan ayat di dalam UUD 1945, semua orang yang waras akan berkata, itu peristiwa pelanggaran Hak-hak Azasi Manusia (HAM) dan sangat pantas diselidiki Komnas HAM RI. Jika perbuatan pelanggaran HAM dibiarkan, maka negara gagal dalam melindungi rakyatnya atau bahkan negara bisa dituduh berbuat zholim terhadap rakyatnya.
Demikian narasi mengenai latar belakang terjadinya konflik sosial penggusuran Rakyat asli pribumi etnis Melayu Islam, berhadapan dengan kekuatan investasi dan bisnis berskala besar milik segelintir oligarki yang tengah bermesraan, berkolusi dengan para penguasa the ruling party, elite politik negeri ini, yang lupa akan jati dirinya, bahwa mereka adalah pemimpin dan negarawan yang wajib membela kepentingan dan hak-hak rakyatnya, terutama kepemilikan agraria dan habitat pemukiman bagi penduduk aslinya.
Itu adalah tugas dan kewajiban mereka untuk menyediakan dan memfasilitasinya, karena itu adalah HAM Rakyat Indonesia seperti diamanatkan UUD 1945, bukan penggusuran penduduk lokal dari perkampungan tradsional yang dimiliki dan dicintai mereka (sense of local community) sebagai tanah leluhur, warisan nenek moyangnya.
Mereka kini berjuang demi tegaknya keadilan sosial dan harkat-martabat (marwqh, dignity) etnis Melayu Islam di tanah Bunda Melayu, Kepulauan Riau, pusat peradaban, khususnya perdagangan dan kebudayaan sastra Melayu, sebagai bahasa Lingua Prapanca, Nusantara yang menjelma menjadi Bahasa persatuan yaitu Bahasa Indonesia.
Begitu besar kontribusi para leluhur Bunda Melayu Islam terhadap negara-bangsa Indonesia, yang sekarang puing-puing kerajaan Melayu yang berjaya tempo doeloe seperti istana Pulau Penyengat dan istana beserta makam para raja dan bangsawan Melayu di pulau Dabo-Singkep, Kabupaten Lingga dan sekitar, masih tampak jelas peninggalannya (Melayu Herritage).
Saya sudah beberapa kali kunjungan survey lapangan kesana dalam rangka riset dan kajian penyusunan dokumen RPJM Provinsi Kep. Riau, RPJMD dan Studi Komoditas Unggulan Kab.Lingga.
Jadi saya agak tahu mengenai potensi SDA, dinamika sejarah ranah Bunda Melayu Islam, kini mereka akan digusur oleh kekuatan Asing based on Aseng, etnis China-Tiongkok sana.
Ya masuk diakal kiranya demi marwah Melayu, mereka pemuka etnis Melayu, memprotes, berdemontrasi, melawan dan menuntut keadilan sosial.
Kita hanya dapat berdoa, semoga Allah SWT melindungi dan menolong hamba-hambaNya yang menuntut keadilan, dan Allah SWT mengalahkan, menghancurkan kezholiman. Sebagaimana firman Allah dalam Al Quran.
"yang hak pasti datang dan menang, sedangkan kebatilan pasti hancur dan binasa-hilang", itu janji Allah SWT. Selamat berjuang.dan berjihad di jalan.Allah.
Syukron barakallah, Aamiin, YRA.
Wassalam
Ditulis oleh: Dr., Ir., H.Apendi Arsyad MSi (Pendiri dan Dosen Senior (Assiate Profesor) Universitas Djuanda Bogor, Pendiri dan Wasek Wankar ICMI Pusat merangkap Ketua Wanhat ICMI Orwil Khusus Bogor, Konsultan K/L negara, Pegiat dan Pengamat Sosial)