RIAUTODAYS, Inhil – Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) 2024, Dr.(C) Yudhia Perdana Sikumbang, SH., MH, pemerhati Pilkada yang juga kandidat doktor di bidang Hukum Pemerintahan/Tata Negara Universitas Jambi, memberikan peringatan tegas kepada seluruh tim pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati serta simpatisan agar berhati-hati dan bijak dalam memilih materi kampanye.
Dalam pernyataannya, Yudhia mengingatkan pentingnya untuk dapat membedakan antara "kampanye negatif" dan "kampanye hitam", karena meskipun keduanya memiliki tujuan yang serupa, yaitu menyerang lawan politik, keduanya memiliki implikasi hukum dan moral yang sangat berbeda.
Pentingnya Memahami Perbedaan Kampanye Negatif dan Kampanye Hitam
Sebagai seorang pakar hukum, Yudhia Sikumbang menegaskan bahwa kedua bentuk kampanye ini, meskipun sering disamakan, sebetulnya memiliki definisi, tujuan, dan konsekuensi hukum yang berbeda.
Kampanye negatif, menurutnya, adalah suatu strategi politik yang digunakan untuk mendiskreditkan atau mengkritik lawan politik dengan mengungkapkan kelemahan, kesalahan, atau kekurangan calon lain, terutama yang berkaitan dengan kinerja masa lalu atau rekam jejak jabatan publik.
Namun, kata Yudhia, dalam kampanye negatif yang sah, setiap klaim atau data yang disampaikan harus memiliki dasar yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Misalnya, dalam kontestasi pilpres atau pilkada, mengungkapkan data utang luar negeri, kebijakan ekonomi, atau kebijakan yang diambil oleh petahana, sejauh data tersebut bisa diverifikasi dan memiliki dasar yang kuat, hal itu termasuk dalam kategori kampanye negatif.
Dalam konteks ini, meski menyerang rekam jejak lawan, pihak yang diserang masih memiliki kesempatan untuk memberikan klarifikasi atau membantah tuduhan dengan data yang sah.
Sebaliknya, kampanye hitam atau black campaign jauh lebih berbahaya karena bertujuan untuk merusak citra dan martabat lawan politik dengan cara yang tidak hanya negatif, tetapi juga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Kampanye hitam umumnya melibatkan penyebaran informasi palsu, hoaks, atau fitnah yang tidak memiliki dasar kebenaran sama sekali.
Hal ini, kata Yudhia, bisa berupa penyebaran tuduhan yang tidak berdasar, seperti tuduhan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan yang tidak terbukti, yang hanya berfungsi untuk merusak nama baik lawan tanpa ada bukti yang sah.
Contoh Kasus Kampanye Hitam
Yudhia memberikan contoh konkret kampanye hitam yang pernah terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah kasus yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, pada tahun 2022.
Dalam periode tersebut, tagar #AniesBaswedanKorupsi sempat ramai di media sosial. Tagar tersebut digunakan oleh pihak-pihak yang tidak mendukung Anies untuk menyerangnya dengan tuduhan bahwa ia terlibat dalam kasus korupsi terkait Formula E.
Meskipun tuduhan ini sangat masif disebarkan di media sosial, namun hingga saat ini tidak ada bukti yang dapat membuktikan keterlibatan Anies dalam praktik korupsi tersebut, dan tuduhan itu belum terbukti di pengadilan.
“Kasus seperti ini adalah contoh kampanye hitam. Penyebaran informasi yang tidak terbukti dan bahkan dapat merusak kredibilitas seseorang tanpa dasar yang jelas, hanya untuk merusak reputasi lawan politik. Inilah yang membedakan antara kampanye negatif dan kampanye hitam. Kampanye negatif mungkin berfokus pada kritik atau data yang sah, sementara kampanye hitam lebih berfokus pada penyebaran kebohongan dan fitnah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Yudhia, Sabtu (9/11/2024) Malam.
Konsekuensi Hukum Kampanye Hitam
Lebih lanjut, Yudhia Sikumbang mengingatkan bahwa kampanye hitam memiliki konsekuensi hukum yang serius, terutama jika dilakukan melalui media sosial.
Dalam era digital seperti saat ini, penyebaran hoaks dan informasi palsu bisa dilakukan dengan sangat mudah dan cepat, sehingga sangat berbahaya bagi reputasi seseorang.
Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam kampanye hitam, khususnya yang menyebarkan informasi palsu melalui platform media sosial, dapat dikenakan sanksi hukum yang tegas.
Menurut Yudhia, kampanye hitam yang dilakukan melalui media sosial bisa dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 Ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 yang telah diubah melalui UU 19 Tahun 2016.
Pasal ini mengatur tentang larangan penyebaran informasi elektronik yang berisi kebohongan atau fitnah yang dapat merugikan pihak lain. Bagi pelaku penyebar hoaks atau kampanye hitam, ancaman hukumannya bisa mencapai 6 tahun penjara dan denda yang sangat besar.
Pentingnya Etika dalam Kampanye Pilkada
Sebagai pemerhati Pilkada, Yudhia juga menekankan pentingnya menjaga etika dalam berkompetisi. Ia menegaskan bahwa meskipun tujuan kampanye adalah untuk memenangkan hati pemilih, cara-cara yang digunakan untuk meraih kemenangan harus tetap mengedepankan etika dan integritas.
“Politik harus dilaksanakan dengan cara yang jujur dan bermartabat. Pilkada seharusnya menjadi sarana untuk memilih pemimpin yang benar-benar dapat membawa kemajuan bagi daerah, bukan ajang untuk saling menjatuhkan melalui informasi yang tidak jelas atau bahkan fitnah,” kata Yudhia.
Ia juga mengimbau kepada seluruh tim paslon dan simpatisan agar lebih selektif dalam memilih bahan dan materi kampanye. Kampanye yang berbasis pada data yang valid dan diskusi yang sehat, menurutnya, akan jauh lebih bermanfaat untuk masyarakat dan menjadikan proses Pilkada lebih bermartabat.
"Jika kita ingin Pilkada Inhil berjalan dengan damai dan penuh dengan persaingan yang sehat, maka kita harus mengedepankan kampanye yang positif dan berbasis pada fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan kampanye hitam yang hanya berorientasi pada serangan pribadi dan fitnah," ujarnya.
Harapan untuk Pilkada yang Demokratis
Sebagai penutup, Yudhia berharap agar Pilkada Inhil 2024 dapat menjadi ajang pemilihan pemimpin yang tidak hanya demokratis, tetapi juga penuh dengan rasa hormat antar calon dan pendukungnya. Ia mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga kedamaian dan integritas dalam kontestasi ini.
"Mari kita pilih pemimpin berdasarkan kapasitas dan program kerjanya, bukan berdasarkan hoaks dan kebohongan. Dengan cara ini, Pilkada kita akan berjalan dengan damai, adil, dan penuh harapan," pungkasnya.